Alihkan Dana Ibadah Kurban Jadi Sedekah

Bengkulu, jurnalisbengkulu.com – Terkait dengan ibadah berkurban pada Hari Raya Idul Adha tahun 2020, Majelis Tarjih dan Tajdid Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah memahamkan bahwa di masa pandemi Covid-19 sekarang di mana banyak orang yang mengalami dampak ekonomi dan keuangan dari peristiwa yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Umat Islam dituntut untuk meningkatkan tolong-menolong dan solidaritas sosial dengan banyak berinfak. Berkaca dengan kondisi tersebut, alangkah baiknya dana kurban untuk membeli hewan kurban dialihkan menjadi sedekah untuk membantu sesama.

Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Syamsul Anwar mengemukakan, “dari Ibn Umar (diriwayatkan) ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah lalu ia berkata: Siapakah manusia yang paling dicintai Allah dan amal apakah yang disukai Allah? Rasulullah saw menjawab: sebaik-baik manusia di hadapan Allah adalah yang memberikan manfaat bagi manusia lainya, dan seutama-utama amal di sisi Allah adalah memberikan rasa gembira kepada seorang muslim, membebaskan dari kesulitan, membantu menyelesaikan utangnya, menghilangkan rasa lapar darinya….” [HR aṭ-Ṭabrānī].

Syamsul Anwar menjabarkan agama diturunkan untuk memberi rahmat yang didasarkan Qs. Al-Anbiya: 107, “Dan tiadalah kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”

Terkait pandemi Covid-19, Majelis Tarjih menyusun nilai-nilai dasar dan asas-asas umum agama Islam sebagai berikut: (a) Nilai dasar saling membantu (at-taʻāwun) yang mengacu Qs. Al-Maidah: 2, (b) Nilai dasar solidaritas sosial sebagaimana ditegaskan dalam hadis Nabi saw, “Sesungguhnya seorang mukmin dengan mukmin lainnya seperti sebuah bangunan yang satu dengan lainnya saling menguatkan,” (HR al-Bukhārī), dan (c) Asas kemanfaatan sebagai turunan dari nilai dasar solidaritas sosial: “Yang lebih penting didahulukan dari yang penting.”

Dalam situasi darurat pandemi Covid-19, kita harus memperhatikan asas dalam melaksanakan agama itu: (a) memudahkan (al-taisīr), (b) dilaksanakan sesuai kemampuan, dan (c) sesuai dengan sunah Nabi saw.

Syamsul Anwar mencontohkan ketentuan shalat id di lapangan yang sebaiknya ditiadakan atau tidak dilaksanakan. “Hal itu untuk memutus rantai mudarat persebaran virus korona tersebut agar kita cepat terbebas daripadanya dan dalam rangka sadduẓ-ẓarīʻah (tindakan preventif) guna menghindarkan kita jatuh ke dalam kebinasaan seperti diperingatkan dalam Al-Quran (Qs. 2: 195).”

Dalam edaran PP Muhammadiyah disebutkan, “Karena tidak dapat dilaksanakan secara normal di lapangan sebagaimana mestinya, lantaran kondisi lingkungan belum dinyatakan oleh pihak berwenang bersih (clear) dari covid-19 dan aman untuk berkumpul banyak orang, maka salat Id bagi yang menghendaki dapat dilakukan di rumah masing-masing bersama anggota keluarga dengan cara yang sama seperti salat Id di lapangan. Bahkan sebaliknya, tidak ada ancaman agama atas orang yang tidak melaksanakannya, karena salat Id adalah ibadah sunah.”

Syamsul Anwar menjelaskan bahwa suatu aktivitas yang tidak diperbuat oleh Nabi saw tidak selalu merupakan hal yang tidak masyruk atau tidak disyariatkan. Tidak berbuat Nabi saw itu bisa merupakan sunnah tarkiah. “Dalam kaitan dengan tidak pernahnya Raslullah saw mengerjakan salat Id di rumah dapat dipandang bukan merupakan sunah tarkiah, karena tidak ada kebutuhan di zaman beliau untuk salat Id di rumah karena tidak ada halangan, seperti ṭaʻūn (penyakit menular), yang menghalangi beliau untuk salat di lapangan. Karena bukan sunah tarkiah, maka melakukan salat Id di rumah itu bukan suatu yang tidak masyruk, sebaliknya adalah sah dilakukan.”

Penulis: Adi HFA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *