DI ERA digital yang semakin membaurkan batas antara informasi dan hiburan, seringkali kita tersesat antara dua entitas utama penyebar informasi: pegiat media sosial dan perusahaan pers. Kedua dunia ini punya peran dan tujuan yang berbeda, namun seringkali beroperasi berdampingan di timeline dan feed kita.
Artikel ini mengajak kita merenungi perbedaan fundamental antara keduanya, sekaligus menggali refleksi tentang bagaimana cara kita menyerap dan mempercayai informasi dalam waktu yang penuh “like” dan “share” ini.
Ketika kita membuka aplikasi media sosial atau scroll berita di website, kemana perhatian kita tertuju? Apakah kita sadar bahwa di balik layar ada dua kekuatan besar yang berlomba menyampaikan pesan, tapi dengan pendekatan dan tujuan yang berbeda. Mari kita mulai dengan pegiat media sosial, para jagoan algoritma yang tak kenal lelah membombardir kita dengan konten penuh warna dari meme kocak, video reels, hingga curhatan mendalam.
Pegiat media sosial itu seperti seniman serba bisa yang mencari perhatian dan interaksi. Tujuan mereka? Membangun komunitas atau personal branding. Tidak ada kewajiban baku seperti kode etik jurnalistik yang jadi panduan mereka, identitas mereka bisa mengalir bebas, beragam, dan kadang menantang norma. Kebebasan ini memungkinkan kreasi dan inovasi, tapi juga membuka pintu bagi mis informasi yang kerap meresahkan.
Sementara itu, di sudut lain, berdirilah perusahaan pers, institusi yang berdiri kokoh dengan kekuatan hukum dan etika jurnalistik. Mereka menjunjung tinggi akurasi, tanggung jawab, dan integritas dalam menyajikan berita. Melalui proses yang ketat, mulai dari verifikasi fakta hingga penyuntingan, perusahaan pers berusaha memberikan kita informasi yang bukan sekadar menghibur, melainkan benar dan bermanfaat.
Hal menariknya adalah adanya tanggung jawab hukum dan kode etik yang melekat pada perusahaan pers. Misalnya, jika ada berita yang salah atau fitnah, mereka bisa dikenai sanksi hukum. Sebaliknya, pegiat media sosial cenderung lebih lepas tangan secara formal, meski secara sosial dan moral tetap harus bertanggung jawab.
Lalu, mengapa kita harus peduli dengan perbedaan ini? Karena dalam era “banjir konten” ini, kita kerap bingung membedakan antara fakta yang dikemas rapi dan opini yang disulap menjadi kebenaran. Institut Reuters yang dihormati internasional mencatat bahwa sekitar 59% orang mengaku sulit membedakan berita palsu dari berita asli di media sosial. Ini bukan sekadar soal pengetahuan, tapi soal kebiasaan dan kecermatan dalam memilih informasi.
Dengan mengetahui perbedaan mendasar ini, kita bisa lebih bijak dalam menikmati informasi. Kita bisa tetap santai menikmati meme viral atau cerita inspiratif dari pegiat media sosial, namun tetap kritis dan memilih perusahaan pers sebagai sumber utama berita yang kredibel.
Sebagai penutup, mari kita ingat betul bahwa media sosial dan perusahaan pers bukanlah dua musuh bebuyutan, melainkan dua wajah dunia informasi yang saling melengkapi. Di tengah gemuruh jempol yang terus bersuara, kita sebagai konsumen informasi harus terus bertanya: “Dari mana sumbernya? Apakah ini sekadar opini, hiburan, ataukah informasi jelas dan terpercaya?” Karena di balik tiap konten yang kita terima, ada tanggung jawab memilih dengan bijak untuk diri sendiri, dan untuk komunitas kita.
Semoga setelah membaca ini, kita tak hanya scroll dan klik share secara membabi buta, tapi juga belajar lebih cermat memaknai dunia informasi yang kita hadapi setiap hari.
Penulis : Ujang Martin AP