Ilustrasi
Bengkulu, Jurnalisbengkulu.com – Belakangan ini, di Bengkulu berkembang viral sebuah kisah unik sekaligus kontroversial: pasangan mesum di luar nikah dihukum dengan menanam batang alpukat. Fenomena ini bukan hanya mengundang senyum geli, tetapi juga membuka ruang refleksi mendalam tentang bagaimana masyarakat kita menyikapi norma, hukum adat, dan modernitas. Mari kita telusuri bersama makna di balik hukum “tanam batang alpukat” ini, serta implikasinya dalam tatanan sosial kontemporer.
Ketika sebuah kabar unik hadir dari Bengkulu yang viral di media sosial sebuah pasangan yang terbukti melakukan hubungan mesum di luar nikah harus menjalani hukuman menanam batang alpukat, kita tentu spontan terhibur sekaligus bertanya-tanya, apakah ini hanya bentuk hukum adat yang unik atau justru strategi sosial yang cerdas?
Jika dibaca secara kasar, mengukur pelanggaran moral dengan sebuah tindakan “menanam pohon” seperti ini mungkin terasa ringan, bahkan mengundang senyum. Namun, jika digali lebih dalam, tindakan tersebut mengandung filosofi yang menarik: sebuah hukuman yang tidak sekadar menjatuhkan denda atau hukuman berat, melainkan mengajak pelaku untuk melakukan sesuatu yang membawa manfaat.
Dalam film-film atau buku klasik, hukuman seringkali hadir sebagai bentuk pembalasan yang keras, berlapis kekerasan fisik atau denda mahal. Namun, di Bengkulu, menanam batang alpukat sebagai hukuman berusaha menggabungkan unsur koreksi sosial, kerja positif, dan ekologi.
Alih-alih membuat pelaku menjadi korban, hukum ini membimbing mereka untuk ‘memperbaiki’ diri dengan ikut menumbuhkan sesuatu yang hidup dan bermanfaat. Ada unsur simbolik di situ, bahwa dari kesalahan bisa tumbuh sesuatu yang berharga jika ada kesadaran dan usaha.
Namun, apakah hukuman ini efektif? Beberapa ahli hukum adat dan sosiolog mengingatkan bahwa keberhasilan sebuah sanksi tergantung dari konteks sosial dan kesepakatan nilai bersama. Kearifan lokal seperti ini biasanya lebih ampuh dalam komunitas yang masih memegang erat norma adat dan gotong royong. Data dari studi kajian hukum adat Indonesia menyebutkan bahwa hukuman berbasis kerja sosial dan restoratif justice membangun kesadaran kolektif yang lebih kuat dibandingkan sanksi formal semata.
Namun, di sisi lain, fenomena viral ini juga membuka percakapan baru tentang bagaimana kita seharusnya menyikapi persoalan moral dan etika dalam era digital. Betapa cepatnya informasi tersebar, bagaimana kearifan lokal kadang diperlakukan seperti pertunjukan hiburan atau konten “viral” yang hanya dinikmati tanpa refleksi mendalam.
Mencoba melihat dari kacamata humor, memang lucu membayangkan seseorang berdiri di kebun menanam batang alpukat sambil malu-malu. Namun, dalam tawa itu, terselip pertanyaan penting: Bagaimana kita sebagai masyarakat modern mengintegrasikan tradisi dengan nilai kemanusiaan dan hukum formal? Apakah kita cukup bijak memaknai kearifan lokal tanpa kehilangan rasa keadilan dan kemanusiaan?
Akhirnya, kisah “hukum tanam batang alpukat” ini bukan semata tentang pasangan yang kena hukuman. Ia adalah cermin yang menunjukkan tentang bagaimana kita memandang kesalahan, bagaimana kita mengingatkan orang akan batasan norma, dan bagaimana sebuah komunitas bisa berusaha membangun perubahan tanpa harus membakar jembatan masa lalu.
Kalau menurut kamu, apakah hukuman menanam batang alpukat ini efektif? Ataukah ini hanya candaan dari lama? Yuk, diskusikan di kolom komentar di bawah! (M25)