Kekerasan Terhadap Jurnalis Meningkat, APH Terlibat

Penulis : Budi Luhur Priyangga

Tugas dan kewajiban seorang jurnalis adalah mengungkap dan menginformasikan fakta yang valid untuk kepentingan publik. Data dan informasi yang di publikasikan, di dapat melalui pencarian dan penggalian secara langsung, bahkan bisa di pastikan kebenarannya.

Rupanya, hal ini justru menjadi ancaman tersendiri bagi beberapa pihak. Bagi mereka yang memiliki “rahasia istimewa”, jurnalis bagaikan duri yang akan menusuk mereka. Kekhawatiran dan kecemasan, menghantarkan mereka untuk melakukan segala cara demi menghalangi kerja jurnalis.

Seolah tutup mata dengan kebebasan pers bagi seorang jurnalis. Kritikan, informasi, serta berita yang dipublikasikan oleh jurnalis dianggap menjatuhkan dan menyebar kebencian kepada khalayak. Hal inilah yang memicu kekeresan terhadap jurnalis terus meningkat.

Bahkan tidak sedikit pelaku kekerasan terhadap jurnalis, datang dari aparat penegak hukum. Bukan tanpa alasan, bagi mereka yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis merupakan bentuk dari ketakukan dan kekhawatiran mereka terhadap kerja dan tugas jurnalis. Lantas, kemana larinya perlindungan terhadap jurnalis? Mengapa mereka yang seharusnya menjadi garda terdepan untuk melindungi jurnalis, justru terlibat dalam kasus kekerasan terhadap jurnalis? Kemana jurnalis harus berlindung?

Fenomena meningkatnya kekerasan terhadap jurnalis, terkhusus pada serangan digital. Biasa terjadi di saat isu nasional yang kontrovesial, atau sedang menjadi topik perbincangan terhangat. Selain itu, saat-saat menjelang momentum politik juga menjadi waktu yang strategis bagi pelaku menyerang para jurnalis.

Hal ini menunjukkan, serangan digital yang di alami oleh jurnalis menjadi alternatif populer yang di anggap pelaku sebagai langkah efektif untuk menggoyahkan fokus kerja jurnalis dan juga merusak kebebasan pers. Tidakkah pelaku mengerti bahwa kekerasan terhadap jurnalis merupakan tindakan kriminal?

Sulit dipercaya jika oknum APH jugalah yang menjadi salah satu pelaku kekerasan tersebut. Mengapa harus melakukan kekerasan? Dunia jurnalistik memiliki kode etik jurnalistik, yang mana disana tertera aturan-aturan dalam kejurnalistikan. Harusnya jika memang merasa berita yang dipublikasikan itu merugikan atau tidak benar, pihak yang bersangkutan bisa melakukan tahapan yang terdapat dalam KEJ.

Sayangnya mereka lebih memilih melakukan kekerasan, padahal itu sangat merugikan pelaku tersebut. Dari semua kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi, harusnya menjadi magnet penggerak Aparat Penegak Hukum (APH) untuk bisa memperketat perlindungan terhadap para jurnalis.

Namun faktanya hingga tahun 2022 kemarin, belum ada upaya tindakan dari APH untuk lebih melindungi para jurnalis. Sehingga kekerasan terhadap jurnalis masih kerap terjadi, baik secara fisik maupun serangan digital. Patut dipertanyakan, perihal apa yang membuat APH belum mau bergerak lebih jauh untuk melindungi para jurnalis.

Benarkah APH takut kasus-kasus busuk akan terungkap, sehingga enggan mempererat hubungannya dengan para jurnalis? Ataukah APH memilih tutup mata dan seolah tak melihat kekerasan terhadap jurnalis kerap terjadi. Saya hanya berharap agar perlindungan para jurnalis diperketat, dan APH yang harusnya melindungi bisa tetap berada pada tempat dan tugas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *