PANDEMI DAN ‘AMBYAR’NYA RITUAL KEAGAMAAN

Tiba-tiba harus berubah, dari anjuran berjamaah, bersilaturahmi, berbalik arus harus sendiri-sendiri.

Tanpa kata, tanpa jabat tangan apalagi cipika cipiki berpelukan. Ibadah lebih baik di rumah bersama keluarga. Jaga jarak tidak boleh berdekatan dan hindari kontak langsung satu dengan lainnya.


Meski fiqh menyediakan perangkat-perangkat dalam keadaan darurat, memperbolehkan atau bahkan menganjurkan untuk tidak berjamaah, tidak mengadakan sholat jumat dan yang lainnya, rasanya masih belum terima keadaan seperti sekarang ini.

Seketika tradisi keagamaan yang sudah demikian lama mengakar harus berubah, Aneh saja ketika sehabis sholat yang biasanya saling berjabat tangan ke kanan dan ke kiri, sekarang era covid, tidak ada lagi yang melakukan. Tiba-tiba semua menghindar. Sehabis salam, para jamaah langsung menjauh satu dengan lainnya, Barisan sholat yang sebelumnya berdempet-dempetan, sekarang merenggang dengan kesadaran masing-masing. Para imam yang biasa memperingatkan ‘’rapat dan luruskan barisan, karena yang demikian bagian dari kesempurnaan sholat’’ juga tidak lagi mengucap demikian.

Semua terasa hambar, Ritual ibadah penuh tata cara dan tradisi lenyap seketika,Sajadah yang biasanya jarang-jarang dibawa saat sholat jamaah, sekarang hampir semua membawanya.

Meski karpet di masjid masih baru dan halus, pihak masjid masih mengguanakan karpet, sebagaiamana mestinya.

Mungkin Bengkulu masih dianggap daerah aman, sehingga tidak perlu berlebihan dan masih menggunakan karpet.


Di masjid saya biasa jamaah, meski tidak penuh-penuh amat, biasanya selalu melimpah jamaah.

Maklum kesadran masyarakat belakangan semakin meningkat, Seiring dengan maraknya majelis taklim di masjid, di rumah-rumah warga dan media sosial yang bertebaran ceramah para ustad. Covid 19 menerpa, para jamaah mundur teratur.

Termasuk saya yang seringg dihinggapi rasa was-was bila berdekatan dengan orang lain, atau jamaah lain. Baris sholat semakin menyusut. Orang-orang para jamaah yang bisanya kumpul-kumpul setelah sholat rawatib, juga banyak yang memilih langsung pulang. Masjid tidak lama kemudian lengang.

Jamaah taklim juga demikian, sebulan belakangan tidak nampak diadakan. Biasanya ibu-ibu seputar masjid, rame solawatan atau mengundang penceramah. Pun saya lihat tayangan pengajian yang bisanya live dengan menghadirkan banyak jamaah, juga tidak nampak. Semua menjadi berubah.

Jamaah tabligh yang biasanya wira wiri berdakwah dari masjid ke masjid, dan tinggal di masjid beberapa hari di masjid biasa saya jamaah, juga bakalan tidak akan ada lagi. Terlebih lagi Jamaah Tabligh dalam beberapa kasus dianggap sebagai mata rantai penyebaran virus.

Tentu ini hal ini akan sangat mengubah pemandangan dakwah di Bengkulu yang kental dengan kegiatan jamaah tabligh. Pasalnya, orang pertama di Bengkulu juga aktif dalam kegiatan dakwah keliling.

Artinya pemerintah kota sangat mendukung dakwah yang menggunakan masjid sebagai basis utama, dengan ‘gerilya’ dari rumah ke rumah untuk mengajak masyarakat ke masjid. Entah akan masih ada lagi atau tidak, setelah ‘kasus’ covid 19 ini dan angin politik Bengkulu berubah, jamaah tabligh masih bisa terlihat berkeliling dari masjid ke masjid.

Di luar lingkungan masjid, masyarakat juga sebagian besar sudah menggunakan masker, sebagaimana himbauan pemerintah bila keluar rumah.

Hal ini juga menjadi baru dalam kontek pola bersosialisasi di masyarakat. Masyarakat Indonesia yang humble, mudah bergaul dan akrab, tiba-tiba harus mengubah haluan sebagaimana masyarakat maju.

Corak masyarakat Indonesia adalah paguyuban (gemeinchaft), yang akrab dan tulus satu sama lain. Suka menolong dan gotong royong. Masyarakat negara-negara maju polahubungan sosialnya lebih bercorak patembayan (gechelchaft), di mana pola hubungan lebih berbasis profesionalisme kepentingan.

Fenomena masyarakat patembayan sangat terasa semenjak virus Covid melanda. Masyarakat tidak lagi berbincang akrab, hanya sekedarnya dengan penutup hidung dan mulut (masker), dengan rasa takut akan terjadi sesuatu yang buruk nantinya. Kumpul-kumpul yang biasanya ada di masyarakat, entah itu hajatan sosial kemsyarakatan atau ritual keagamaan, berhenti secara total.

Dari Ritual ke Subtansial Kini masyarakat agama dihadapkan pada situasi baru, di mana ibadah-ibadah keagamaan tidak lagi bisa dilakukan secara demonstratif.

Dengan menghadirkan massa dalam skala besar, atau pengeras suara yang memekik telinga. Masyarakat agama dianjurkan lebih dianjurkan ibadah dalam sunyi, dengan keluarga dekat di rumah atau di tempat masing-masing.

Hal ini juga dianjurkan dalam Islam. Perinta bangun di pertiga malam, untuk sholat malam (tahajjud) adalah bernilai pahala yang sangat tinggi.

Bukankah Muhammad Saw juga menerima wahyu untuk pertama kali dalam kesunyian Gua Hiro’? Kondisi pandemi ini harus menjadi ‘madrasah’ bagi peningkatan kualitas dalam agama.

Bila sebelumnya hanya sibuk pada ritual keagamaan, dengan ibadah ‘sunyi’ ini diharapkan menemukan pesan utama agama yang agung, yaitu membangun peradaban mulia. Terlebih ramadhan sudah di depan mata, yang tentu suasananya sangat berbeda.

NU dan Muhammadiyah sudah mengeluarkan fatwa, agar tidak mengadakan ibadah ibadah yang bersifat mengumpulkan massa. Seperti tarawih atau takbir keliling dan bahkan mudik pulang kampung.

Covid 19 adalah bencana umat manusia, tanpa memandang suku, negara atau kelompok agama. Ritual keagamaan boleh ambyar, tidak lagi diadakan. Paling tidak untuk sementara. Tidak perlu bekecil hati, karena kita masih bisa beribadah dengan leluasa, meski dengan tradisi yang berbeda.

Di sinilah umat beragama diuji, apakah keberagaman selama ini otentik atau pura-pura? Apakah ada perbedaan, ibadah yang dilihat orang banyak, dengan ibadah dalam sunyi? Tentu yang mengatahui adalah Tn uhan ddiri umat beragama masing-masing.

#Moch Iqbal, Dosen IAIN Bengkulu

#JB

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *