Seruan Arief Poyuono untuk tidak membayar pajak apabila Jokowi-Ma’ruf Amin terpilih sebagai pemenang Pilpres 2019 dianggap melanggar hukum. Waketum Gerindra itu lalu mengutip ayat Alkitab yang dijadikan landasan atas seruannya.
“Hanya yang kurang waras aja mempercayakan pajak masyarakat dan negara ini pada pemerintahan yang dihasilkan dari Pemilu yang curang,” ungkap Arief Poyuono saat dimintai tanggapan, Kamis (16/5/2019).
Seruan Arief Poyuono kepada para pendukung Prabowo-Sandiaga agar tak membayar pajak disebut ahli hukum pidana dan kriminologi Yenti Garnasih sebagai bentuk pelanggaran. Poyuono menganggap apa yang disampaikannya bukan bentuk pelanggaran.
“Kok melanggar pidana sih. Wong tolak bayar pajak itu nanti pada pemerintahan yang dihasilkan dari Pemilu 2019 yang curang,” ujar Poyuono.
“Dia cuma ahli pajak, bukan ahli politik. Memang benar kalau warga negara tidak bayar pajak bisa dipidanakan. Ini ahli hukum pajak kok rada telolet ya. Sekarang ini harus bayar pajak karena masih pemerintahan yang dipimpin oleh Joko Widodo-Jusuf Kalla ya dan bukan pemerintahan Joko Widodo-Maruf Amin. Waduh Pak JK kok sudah seperti nggak dianggap sebagai wapres yang sah ya,” imbuhnya.
Poyuono lalu berbicara soal pemerintahan yang sah. Ia menganggap pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin nanti tidak sah lantaran dituding sebagai hasil kecurangan.
“Jika pengepul pajak, yaitu pemerintah, itu diakui oleh masyarakat sebagai pemerintahan yang sah dihasilkan dari Pemilu yang legitimate. Nah kalau pemerintahan yang tidak legitimate dan dihasilkan dari pemilu yang curang dan dipilih lebih banyak oleh setan-setan alas yang kita sebagai masyarakat Indonesia yang waras nggak perlu bayar pajak,” beber Poyuono.
Dia mengklaim masyarakat tidak akan mengakui hasil Pemilu 2019, seperti yang dilakukan Prabowo. Untuk itu, Poyuono menyeru masyarakat tidak perlu membayar pajak karena menilai pemerintahan hasil Pemilu 2019 yang dimenangkan Jokowi-Ma’ruf versi rekapitulasi sementara tidak sah.
“Wong kita nggak percaya dan nggak ngakui pemerintahan hasil Pemilu 2019 kok kenapa mesti bayar pajak. Wong kita anggap nggak ada pemerintahan kok yang dihasilkan dari Pemilu 2019,” katanya.
Poyuono lalu mengutip sejumlah ayat Alkitab dari Perjanjian Baru, yang ditulis di Injil Matius Bab 22 yang membahas urusan pajak. Ia memberi contoh saat Yesus dicobai oleh orang-orang Farisi soal apakah masyarakat diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar yang memimpin bangsa Yahudi saat itu.
“Mengapa kamu mencobai Aku, hai orang-orang munafik? Tunjukkanlah kepada-Ku mata uang untuk pajak itu. Mereka membawa suatu dinar kepada-Nya. Maka Ia bertanya kepada mereka: ‘Gambar dan tulisan siapakah ini?’. Jawab mereka: ‘Gambar dan tulisan Kaisar.’ Lalu kata Yesus kepada mereka: ‘Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah,'” demikian ucapan Poyuono mengutip Injil Matius 22:18-21.
“Ini yang saya imani ya. Itu kalau kaisar atau pemerintahan yang kita akui kita wajib bayar pajak. Karena kita mengakui Allah sebagai Allah kita maka kita wajib juga bayar zakat, sedekah, dan kalau di kami persepuluhan,” sambungnya.
Atas dasar argumen itu, Poyuono merasa seruannya soal penolakan membayar pajak tidak salah. Sebab, pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin diklaimnnya tidak akan diakui masyarakat.
“Nah ini kita nggak ngakui kok pemerintahan yang dihasilkan oleh Pilpres 2019 jadi tidak ada kewajiban bagi masyarakat yang ikut tidak mengakui hasil Pilpres untuk bayar pajak pada pemerintah yang mengelola pajak yang tidak kita akui,” ucap Poyuono.
Sebelumnya diberitakan, Ketua Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (Mahupiki) Yenti Garnasih mengatakan ajakan Arief Poyuono untuk tidak membayar pajak bisa dikenai pidana. Ia juga menilai seruan Poyuono aneh.
“Tidak boleh mengajak mogok bayar pajak, padahal itu kewajiban hukum, bahkan yang sengaja menunggak atau tidak bayar pajak adalah pelanggaran hukum dan ada juga sanksi pidana maksimal 6 tahun serta denda dan bayar pajak tertunggak,” urai Yenti Garnasih.
“Kok aneh mengajak masyarakat melanggar hukum, apalagi ada pidananya. Seharusnya mengajak membangun bangsa dengan baik dan harus memperlihatkan cinta NKRI dan menjaga keutuhan bangsa. Bukan malah mengajak melakukan pelanggaran hukum,” tambahnya.
Berdasarkan aturan yang ada, negara berhak melakukan gijzeling atau penyanderaan ialah penyitaan atas badan orang yang berutang pajak. Selain itu, bisa melakukan suatu penyitaan, tetapi bukan langsung atas kekayaan, melainkan secara tidak langsung, yaitu diri orang yang berutang pajak.
Hal itu diatur dalam UU Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (UU PPSP) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2000. Undang-Undang PPSP mengatur penagihan utang pajak kepada wajib pajak melalui upaya penegakan hukum.
Tujuan dilakukannya gijzeling adalah mendorong kesadaran, pemahaman, dan penghayatan masyarakat bahwa pajak adalah sumber utama pembiayaan negara dan pembangunan nasional serta merupakan salah satu kewajiban kenegaraan, sehingga dengan penagihan pajak melalui surat paksa tersebut setiap anggota masyarakat wajib berperan aktif dalam melaksanakan sendiri kewajiban perpajakannya.
Gijzeling dilaksanakan apabila wajib pajak benar-benar sudah membandel. Tindakan gijzeling bukan satu-satunya cara untuk membuat wajib pajak jera dan merupakan langkah antisipasi terakhir yang merupakan upaya mencari deterrence effect (efek jera) agar para penunggak pajak takut dan segera melunasi kewajiban pajaknya.
“Menyuruh orang melakukan tindak pidana juga perbuatan pidana,” sebut Yenti.
Sumber : detik.com |