Tidak Perlu Serakah Haji

Oleh: Moch Iqbal *)
Sosiolog dan Dosen IAIN Bengkulu

Moch Iqbal

PADA masa Nabi, konon ada seorang sahabat sangat berkeinginan untuk menunaikan ibadah haji. Karena penghasilanya yang pas-pasan, sahabat tersebut harus menabung sedikit demi sedikit. Hingga suatu ketika bekal yang diperlukan dianggap cukup, dan berangkatlah sahabat tersebut.

Di sepanjang perjalanan sahabat ini menemukan beragam peristiwa. Suatu ketika dalam perjalanan menemukan keluarga yang sangat miskin dan sangat membutuhkan pertolongan. Sebagaian bekal untuk Haji tersebut kemudian di berikan kepada yang membutuhkan tersebut.

Dalam perjalanan selanjutnya, sahabat ini juga menemukan peristiwa serupa, dimana kemiskinan dan kekurangan berserak disepanjang perjalanan menuju Ka’bah. dan selalu memberikan bantuan dari bekal yang dibawa untuk keperluan Haji tersebut.

Hingga akhirnya bekal untuk ibadah haji tersebut habis sebelum sampai ke Tanah Suci. Sahabat tersebut kemudian memutuskan pulang karena kehabisan ongkos. Tentu dia sangat bingung, kapanlagi bisa menunaikan ibadah haji, karena untuk bisa menunaikan ibadah haji harus mengumpulan bekal sedikit-demi sedikit dengan membutuhkan waktu yang lama.
Sedangkan orang tersebut usianya udah udzur, tidak mungkin bisa lagi mengumpulkan bekal lagi untuk menunaikan ibadah haji.
Peristiwa tersebut sampai ke telinga Nabi Muhammad.

Kemudian Nabi langsung berkata, orang tersebut haji-nya diterima oleh Allah. Kendati sahabat tersebut belum menginjakan kakinya di Baitullah, namun akhlaknya mulianya yang ditunjukkan sepanjang perjalanan menuju kakbah, membuat Nabi tanpa ragu mengatakan bahwa ‘Haji-nya Mabrur’.

Haji Turistik

Sayangnya, cerita inspiratif yang lebih menekankan pada pentingnya akhlakul karimah semacam ini kurang populer, dibanding cerita-cerita tentang betapa terangnya malam hari di sekitar Kakbah, lantai-lantainya dingin meski di siang hari, air zam-zam yang tidak pernah mengering, kendati tidak pernah berhenti didistribusikan ke seluruh jamaah haji. Atau tempat bertemunya Adam dan Hawwa di jabal rahmah sebagai lambang kasih sayang manusia sepanjang masa.

Gua Hiro’ tempat dimana Nabi menerima wahyu untuk pertama kalinya. Atau, pahala-pahala yang berlipat ganda akan didapatkan para jamaah apabila beribadah di sana yang tidak kan didapatkan di tempat lain, termasuk masjig-masjid di tanah air dan cerita daya taril lainnya.

Atau cerita tentang transformasi Mekkah yang secara sporadis menjadi London atau Las Vegas. Adalah ‘Abraj al Bait’ gedung yang angkuh yang nampak paling dominan diantara deretan gedung yang sudah berdesakan diseputar Kakbah. Empat muka jam di puncaknya masing-masing berbentuk mirip ‘Big Ben’ di London, Meskipun mengalahkannya dalam ukuran: diameternya masing-masing 46 m, dengan jarum panjang yang melintang 22 meter. Dan berbeda dari Big Ben, di jidatnya yang diterangi dua juta lampu LED tertulisالله أكبر, ‘Allahu Akbar’.

Cerita-cerita haji lebih dominan pesona turistik dan wisata Ka’bah dengan segala asesorisnya yang sarat dengan muatan kapitalisme. Cerita ka’bah tidak lagi menjelaskan semangat egalitarianisme (kebersamaan) sebagaimana yang melekat pada pakain ihram yang harus dikenakan pada semua jamaah haji.

Pesan bahwa semua manusia dihadapan Tuhan sama, tanpa memandang status sosial dan dari mana orang itu berada, kecuali kualitas taqwanya (inna akramakun indallahi atkaakum), adalah sangat jelas dalam keharusan berpakaian ihram.

Seharusnya, orang yang pernah menjalankan haji, mengerti betul bahwa sesungguhnya Tuhan hanya melihat prilaku dan akhlak manusia, bukan kedudukan, jabatan atau kekayaan.

Namun realitasnya justru bertolak belakang. Alih-alih mampu menangkap pesan utama haji, kemudian diterapkanya di tempat tinggal masing-masing. Pulang Haji malah mempertebal dinding sosial, dengan kemana-mana minta dipanggil Pak Haji, Bu Hajjah. Atau selalu menyertakan H pada setiap penulisan namanya.

Para pendakwah dan literatur yang tersedia demikian pandai mendramatisasi Ka’bah dengan segala pesonanya, namun lupa menyampaikan pesan utamanya dari ibadah-ibadah tersebut. Tak ayal lagi, masyarakat Indonesia demikian ‘keranjingan’ untuk bisa datang ke Mekkah. Bahkan seringkali mengabaikan proses untuk menuju Baitullah. Munculnya Haji-Plus, semakin mempertegas bahwa ibadah haji semakin bias modal dan sarat dengan aroma kapitalistik.

Menuju Kesalehan Hidup

Sebagaimana diketahui, ibadah haji yang diwajibkan hanya satu dalam seumur hidup dan bagi yang mampu. Hal ini mengisyaratkan untuk memberi kesempatan seluas-luasnya masyarakat Islam untuk menunaikan rukun Islam ke lima tersebut. Realitasnya banyak sekali para jamaah yang sudah melakukan ber-kali-kali.

Ibadah haji kemudian menjadi ibadah yang syarat komersialisasi. Dalam kondisi masyarakat yang masih banyak dililit kesulitan, tentu prilaku semacam ini malah bertolak belakang dengan pesan utama ibadah Haji, yaitu agar lebih peka terhadap persoalan sosial.

Dalam sejarahnya, Nabi Muhammad sebenarnya masih mempunyai kesempatan 2 kali sebelum nabi wafat untuk menunaikan ibadah haji. Namun Nabi tidak melakukanya. Padahal tempat tinggal Nabi tidak jauh dari kakbah.

Artinya, kalau Nabi saja memberlakukan Kakbah secara proporsional, maka seharusnya umatnya juga harus demikian. Kalau sudah pernah pergi ke Baitullah, seyogyany jangan lagi ikut mendaftar. Untuk memberi kesempatan pada yang lainnya untuk ber-haji. Paling tidak memperpendek antrian haji yang mencapai puluhan tahun.

Lebih baik, biaya yang sekitanya akan dikeluarkan untuk pergi berhaji, digunakan untuk keperluan kemanuasaiaan, untuk penguatan ekonomi atau bantuan pendidikan dan sebagainya. Saya tidak bisa membayangkan, betapa makmurnya negeri ini bila hal tersebut terjadi.

Tradisi filantropi (memberi) akan menjadi basis utama dalam model pengentasan kemiskinan dan kebodohan. Dua masalah penting yang masih melilit sebagian besar masyarakat Islam tanah air.

Tidak ada yang salah melakukan haji lebih dari satu kali. Namun dengan animo masyarakat dan demikian banyak orang yang belum mempunyai kesempatan ke Mekkah, hingga untuk menunaikan ibadah haji harus antri hingga 10 tahun, hal ini menjadi persoalan sendiri. Orang yang berkali-kali menunaikan Haji, seolah-olah ingin meng-kapling surga sendiri dan yang lainnya tidak berhak.

Prilaku yang mementingkan diri sendiri, tentu bertolak belakang dengan spirit haji, yang lebih mementingkan kepentingan kebersamaan, atau kemaslahatan bersama. Wallahu a’lam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *