RELIGI  

Kultur Urban Dalam Tradisi Ramadhan

Awal Ramadhan

Jurnalisbengkulu.com – Masyarakat demikian antusias menyambut kedatangan bulan yang paling mulia tersebut. Masjid dan musholla-musholla berbenah untuk menyambut para jamaah yang akan sering mendatanginya. Dapat dipastikan, rumah Tuhan itu akan lebih meriah dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya. Bahkan waktu shubuh sekalipun, akan ada banyak jamaah yang akan menunaikan ibadah sholat, walau pada bulan-bulan sebelumnya sangat lengang dan kosong. Terlebih lagi waktu sholat isya dan terawih, dapat dipastikan masyarakat sekitar akan berbondong-bondong menuju Masjid atau Musholla.

Suara petasan, kembang api dan sejeninya yang banyak dijual sepanjang jalan, bersautan dari segala arah. Suasana menjadi semakin meriah. Mungkin sebagai ekspresi kegembiraan menyambut bulan penuh ampunan tersebut. Terlebih lagi suara-suara dari menara-menara masjid menjelang senja, semakin menambah gaduh dan riuh suasana. 

Demikian juga pasar kaget, yang bermunculan di sepanjang jalan dan pasar-pasar, menyediakan menu-menu berbuka puasa yang berasal dari tradisi pedesaan, seperti kolak, kolang kaling, jajan tradisional dan menu lainya yang variatif dan mengundang pesona. 

Suasana semacam itu, mengingatkan saya pada suasana desa, terutama kuliner yang ditawarkan oleh para pedagang musiman. Desa dengan segala Susana keakrabanya, selalu mengundang untuk kembali dalam pelukannya. Masjid dan musholla yang penuh dengan jamaah, adalah kultur khas pedesaan yang yang dibawa kaum urban di perkotaan. Maka ketika ramadhan tiba, seolah-olah masyarakat ingin membawa kembali, kultur asal mereka yang sebagian besar adalah pedesaan, di tengah-tengah kesibukan, lapar dan dahaga yang mereka jalani selama ramadhan. Ada aroma redistribusi dan romantisme yang dibawa kaum urban di perkotaan seperti Bengkulu ini.  

Pertengahan Ramadhan

Baris jamaah di masjid mulai susut secara signifikan. Jamaah mulai beralih tempat, tidak lain yaitu  ke Mall dan pasar. Masyarakat mulai sibuk dengan pernak pernik Ramadhan. Dari mulai kue hingga pakaian lebaran. Pasar, Mall dan tempat perbelanjaan lainnya seakan tidak lagi mampu menampung animo massa yang mau belanja. Masyarakat demikian buas, melampiaskan hasrat belanja. Bila perlu, semua barang yang ada di pasar, bisa dibawa pulang.

Bagi sebagian kecil masyarakat, yang mempunyai kemampuan daya jual tinggi atau yang mempunyai ekonomi menengah ke atas, belanja baju, makanan  enak atau yang lainnya, bukanlah sesuatu yang asing bagi kehidupan mereka sehari-hari. Karena setiap saat mereka mampu melakukanya. Namun, bagi sebagain besar masyarakat Indonesia yang hidup dalam keterbatasan dan kemiskinan, kegiatan belanja adalah sesuatu yang mewah. Tidak setiap saat meraka bisa melakukan. Boleh jadi mereka hanya bisa melakukan setahun sekali, atau bahkan belum tentu setahun sekali mereka para kaum miskin mampu belanja. Seperti pakaian baru atau makanan enak.

Maka momen ramadhan dan lebaran menjadi sangat penting bagi mereka masyarakat bawah untuk mewujudkan keinginan untuk berpakaian lebih bagus atau makan yang lebih enak dari bulan-bulan sebelumnya. Setidaknya, sebagai manusia pada umumnya juga ingin diakui eksistensinya, yang selama ini berada pada struktur sosial yang paling bawah, yang hanya sebagai alat politisasi penguasa atau ‘alas kaki bagi para pemodal. Tidak mengherankan bila masyarakat yang sebagian dari kelas menengah ke bawah, menyambut Ramadhan tidak sekedar sebagai momen keagamaan, namun lebih dari itu juga sebagai kesempatan untuk melepaskan dari belenggu kemiskinan dan sekat-sekat social.

Penghujung Ramadhan

Masyarakat tidak lagi antusias ke tempat-tempat ibadah. Jamaah di masjid mulai menguap, tinggal satu, dua orang saja yang masih setia mengisi shaf sholat. Massa mulai panik menyambut ‘hari kemenangan’ tersebut. Masyarakat tidak lagi berfikir, bahwa di sepuluh penghujung puasa, Allah mencurahkan semua rahmat-dan hidayah-Nya bagi hamba yang khusu’ menjalankan ibadah puasa. Terminal, stasiun dan bandara adalah tempat mereka beraktifitas. Dari mulai pesan tiket hingga persiapan mudik kampung atau berkunjung ke sanak keluarga.

Bagi kaum urban, kultur pulang kampung adalah sama pentingnya dengan puasa itu sendiri. Atau bahkan, lebih penting dari berpuasa di bulan ramadhan. Pulang kampung adalah ritual wajib dan saat paling tepat melakukan integrasi kembali di kampung, setelah sekian lama mereka tercerabut dari kultur asal mereka di perantauan. Terlebih lagi mereka yang sudah sukses, adalah saat yang tepat memperkuat eksistensi ditengah-tengah masyarakat desa.

Kultur ‘in world looking’ (pandangan ke dalam) pada sebagian besar masyarakat desa, konon yang menciptakan kegagalan diaspora (penyebaran) Indonesia secara keseluruhan. Betapapun seseorang telah lama merantau, selalu ada keinginan kembali ke kampung asal. Dengan kultur yang demikian, ramadhan akan selalu gaduh (noise) dengan pernak pernik tradisinya. Dan semakin lama  pesan utama (voise) ramadhan sebagai peningkatan spiritual, semakin sirna, entah kemana. Wallahuaa’lam.       

Penulis : Moch Iqbal (Dosen IAIN Bengkulu)