Lagi viral video adu mulut pedagang Danau Dendam vs pengunjung. Sudah bukan rahasia memang pedagang-pedagang di sana, kurang ramah, cenderung sinis dengan harga yang mencekik leher. Pernah mengalami berapa kali.
Kelapa muda dipatok 20 ribu per buah atau jagung bakar 15 ribu satu. Terakhir di bulan puasa kemarin, numpang duduk sebentar karena ada diskusi dengan seorang teman. Kirain bulan puasa ngga akan dipaksa mesan makanan, ternyata tetap saja. Wajib mesan makanan, kalau tak mau dipungut biaya sewa duduk. Baru duduk setengah jam, sudah diusir dengan alasan ngga boleh lama. Uang sewa duduknya diminta saat itu juga Rp 10 ribu dengan alasan dia mau pergi.
Kita yang orang Bengkulu saja digituin, gimana orang luar? Sungguh mencoreng citra provinsi. Padahal itu adalah area publik, objek wisata milik bersama. Tidak ada yang memaksa pedagang membuat pondok di sepanjang pinggiran danau. Pondok-pondok itu justru menghalangi indahnya pemandangan ke Danau Dendam. Dulu pernah dibongkar, karena pondok-pondok yang dibuat pedagang dianggap kumuh, juga menghalangi view ke danau. Sayang tak berlangsung lama.
Sekarang pinggiran danau kembali disesaki pondok hingga panorama Danau Dendam tak bisa dinikmati secara jelas dan lapang.
Lalu bagaimana?
Sudah saatnya pemerintah kembali tegas. Saya ngga tahu, Danau Dendam ini sekarang pengelolaannya provinsi atau kota. Namun yang berwenang sudah selayaknya untuk tegas, menata kembali objek wisata eksotis ini supaya menjadi salah satu view iconic Provinsi Bengkulu. Danau Dendam itu cantik. Viewnya sangat indah. Lokasi sangat strategis di tengah kota. Tentu memiliki nilai jual yang sangat tinggi. Sungguh objek wisata berharga di tengah kota.
Sangat disayangkan bila dibiarkan terus seperti sekarang. Selain merusak citra provinsi dengan sikap pedagang yang terkesan memaksa, apalagi dengan harga jual makanan yang sungguh mencekik leher, objek wisata ini juga makin lama akan makin ditinggal. Lihat saja, dengan kondisi sekarang, objek wisata tersebut makin sepi. Nyaris semua pengunjung trauma dan enggan kembali berkunjung ke sana setelah menerima perlakuan kurang menyenangkan. Pada malam hari, kawasan ini justru meninggalkan kesan seram. Sangat disayangkan bukan?
Gimana menatanya?
Pemerintah tentu lebih tahu. Grand design atas objek wisata keren ini tentu sudah dimiliki sejak lama. Tak perlu diajari harus bagaimana, karena SDM pemerintah kita cukup mumpuni untuk menemukan ide “harus diapakan” Danau Dendam ini. Namun mewakili warga kota, bagi kami masyarakat tak perlu muluk-muluk.
Menjadi area wisata kayak di Kampung Sejahtera saja, sudah sangat menyenangkan. Semua area pinggir danau disterilkan dari bangunan. Biarkan view danau terbuka dengan cantiknya. Bangun lantai eksotis seperti di Kampung Sejahtera. Keren sudah!
Pedagang tetap boleh berjualan, tapi hanya di area pondok berdagang mereka. Bila pemerintah berkenan, bangun sekalian pondok mereka dengan konstruksi seragam dan titik bangunan menjorok ke belakang seperti rumah panggung nan cantik. Dengan gitu maka pedagang juga tetap memiliki area untuk mencari nafkah. Soal bagaimana pengelolaannya apakah pedagang menyewa, ya silakan saja pemerintah yang atur mana yang paling bijak.
Satu hal yang wajib menjadi catatan, etika dan tatakrama para pedagang harus diperbaiki. Mereka harus menjadi masyarakat yang sadar wisata (Masata). Tak hanya ramah dan wellcome, tapi juga bertanggungjawab akan kebersihan, keamanan dan kenyamanan lokasi wisata tersebut. Bukankah ini juga selalu digaungkan kementerian pariwisata kita? Peribahasa pembeli (pengunjung) adalah raja mestinya ditanamkan betul agar pengunjung kerasan sehingga kembali ke lokasi mereka. Hargapun harus rasional. Jangan mencekik leher, apalagi terkesan menjebak pengunjung ketika tahu pengunjung dari luar daerah.
Pada akhirnya, kita masyarakat hanya bisa berpendapat. Actionnya tentu ada pada pemerintah.Kita berdoa saja. SEMOGA SEGERA!
Sumber : #DS7Mei22 / FB
Dok. Foto: Phinemo.Com